Senin, Juni 10, 2013

Menjadi Pahlawan Biasa #1

Ya. Menjadi pahlawan itu biasa. Dia tetap manusia biasa, tidak kemudian memiliki sayap, baju emas, atau tersempitkan makna menjadi orang yang dikebumikan di makam pahlawan, dibuatkan patung, menjadi salah satu nama museum dan sebagainya. Mereka yang memiliki kehormatan itu tetap pahlawan. Namun, masih banyak pahlawan di sekitar kita yang sering kali luput dari pengamatan kita. Seperti halnya tukang sampah yang istiqomah mengambil sampah di pagi hari, bila mereka sepekan saja mogok kerja siapa yang akan rela membawa sampah-sampah itu ke tempat pembuangan akhir? Pun juga tukang sapu jalanan, keberadaan mereka sering kali tak tampak, tapi ketidak beradaan mereka jelas memberi penampakan yang berbeda. Pernah suatu ketika saya akan sholat ied adha di Masjid Kampus UGM, lingkungan sekitar masjid dan kampus penuh sekali dengan daun-daun yang berjatuhan, sangat banyak, macam UGM terkena musim gugur saja. Entahlah apa yang terjadi, mungkin para tukang sapu sedang sibuk mengurus sapi, makan daging sapi, madiin sapi dll yang jelas sukses deh maskam jadi episode musim gugur, alhasil para jama’ah yang sholat dipelataran masjid mesti mengambili daun-daun itu dulu. Ya memang daun yang jatuh tidak boleh membenci angin, seperti halnya mereka menyukai tukang sapu. (lho?) kembali ke topik. 

Pada intinya menjadi seorang pahlawan artinya ia memiliki arti bagi orang lain, dia memiliki “nilai” yang tidak dipunyai oleh semua orang. Dia memiliki keunikan yang membuatnya berbeda dari orang kebanyakan. Terjawab sudah kenapa kemudian tukang sapu dan tukang sampah tadi tidak cukup unik untuk masuk dalam daftar nama pahlawan di dunia, buku rekor MURI atau yang lain. Karena menjadi “UNIK” adalah beban psikologis yang tidak semua orang dapat memikulnya. Coba saja tukang sapu itu menyapu menggunakan kostum boneka bebek, dengan atraksi kungfu yang menarik, pasti dia dengan cepat masuk dalam daftar pahlawan kebersihan terunik versi on the spot.(hehe) Kenapa unik menjadi beban? Karena menjadi orang yang unik, terkadang rada mirip dengan aneh (kesan negatif.red) tidak mudah lepas dari komentar orang, di bully, terasing, bahkan kesepian. Sebab tidak semua orang dapat memahaminya. 

Menjadi pahlawan harus sadar dengan hal itu, ia membutuhkan tekad dan keberanian moral untuk menembus tirai kesalahpahaman publik dan lingkungan. Itu baru tahap awal, dan dibutuhkan lebih banyak lagi tekad dan keberanian untuk “memaksakan” kehadiran pribadi kita dalam struktur kesadaran masyarakat. Inilah proses paling menegangkan dalam proses “pensejarahan” seseorang. 

Seninya adalah ia memaksakan penerimaan ini secara natural, karena kebaikan yang berserakan pada masyarakat itu terkumpul pada diri sang pahlawan. Maka kita Rasulullah SAW wafat, para sahabat terguncang, mereka menangis, ketika Ibu Ainun meninggal Habibie begitu terluka dan rakyat Indonesia berduka, pun ketika Uje meninggal Indonesia pun bersedih. Maka jika kau mau menerima takdir kesepian sebagai pajak dari keunikkanmu, maka niscaya masyarkakat akan membayar hal yang sama : kelak mereka juga akan merasa kehilangan. Percayalah.

Pelajaran pertama menjadi pahlawan biasa : Terimalah keunikanmu! Hadapilah!
Share: