Rabu, Mei 28, 2008

Untukmu Kader Dakwah




Judul Buku       : Untukmu Kader Dakwah (seri PDF)
Pengarang       : Ust Rahmat Abdullah
Tebal                : 78 halaman
Tahun              : 2005

Wanna share about content this book :
 Buku ini merupakan kumpulan dari artikel-artikel Ust Rahmat yang dimuat dalam rubrik asasiyat, majalah Tarbawi. Dari beberapa artikel, berita, profil serta hasil wawancara  dengan pengarang, saya tertarik untuk membahas tentang beberapa diantaranya, yaitu :

Sejarah telah diwarnai, dipenuhi dan diperkaya oleh orang-orang yang sungguhsungguh. Bukan oleh orang-orang yang santai, berleha-leha dan berangan-angan. Dunia diisi dan dimenangkan oleh orang-orang yang merealisir cita-cita, harapan dan angan-angan mereka dengan jiddiyah (kesungguh-sungguhan) dan kekuatan tekad. (halaman 27)
Dakwah berkembang di tangan orang-orang yang memiliki militansi, semangat juang yang tak pernah pudar. Ajaran yang mereka bawa bertahan melebihi usia mereka. Boleh jadi usia para mujahid pembawa misi dakwah tersebut tidak panjang, tetapi cita-cita, semangat dan ajaran yang mereka bawa tetap hidup sepeninggal mereka. Apa artinya usia panjang namun tanpa isi, sehingga boleh jadi biografi kita kelak hanya berupa 3 baris kata yang dipahatkan di nisan kita : “Si Fulan lahir tanggal sekian-sekian, wafat tanggal sekian-sekian”. (halaman 28)

Militansi. Sebenarnya apa arti kata militansi itu?militansi dari kata militan, kalau di kamus besar bahasa Indonesia militan artinya bersemangat tinggi;penuh gairah; berhaluan keras, sedangkan militansi artinya ketangguhan dalam berjuang (menghadapi, kesulitan, berperang, dsb). Kemudian siapa yang pantas disebut militan? Apakah orang yang berani rela bolak-balik bandung-jakarta dapat disebut militan?atau orang yang menyelesaikan semua amanahnya dengan sungguh-sungguh sudah dapat disebut militan?
Mungkin dua-duanya dapat disebut militan tergantung kebutuhan mana yang harus dipenuhi. Hanya saja akan menjadi masalah apabila kita mengeneralisasi bahwa orang militan pasti orang yang melakukan banyak pengorbanan yang bersifat fisik, dan memandang sebelah mata orang yang berdiam diri menyelesaikan amanah. Bisa jadi orang yang duduk tenang menyelesaikan tugasnya itu lebih militan, karena dia lebih dapat melawan hawa napsunya untuk tidak beranjak dari tempatnya alias dia mampu mengalahkan dirinya sendiri. Bukankah jihad yang paling berat adalah mengalahkan hawa napsu?. Hmm...pernyataan ini bukan berarti menyepakati kita harus berdiam diri terus dan menunggu kekalahan hawa napsu pribadi dulu baru kemudian bergerak ke arah yang lebih luas. Sebenarnya berjuang mengalahkan diri sendiri akan terus  berjalan sampai ruh terlepas dari raganya, hal itu memang akan terus mengusik kita sampai kita akhirnya menuruti hawa napsu, itulah yang diinginkan syaitan. Namun, sembari kita sibuk dengan diri kita tadi, hak orang lain untuk diri kita tidak boleh terlupakan dengan bergerak itulah hal itu dapat terpenuhi. Bergerak di sini yaitu kita bertebaran di muka bumi untuk mencari karunia Allah SWT yang dapat kita cari dimana pun kita berada.
    ^_^

Di antara sekian jenis kemiskinan, yang paling memprihatinkan adalah kemiskinan azam, tekad dan bukannya kemiskinan harta. Misalnya anak yang mendapatkan warisan berlimpah dari orangtuanya dan kemudian dihabiskannya untuk berfoya-foya karena merasa semua itu didapatkannya dengan mudah, bukan dari tetes keringatnya sendiri.
Boleh jadi dengan kemiskinan azam yang ada padanya akan membawanya pula pada kebangkrutan dari segi harta. Sebaliknya anak yang lahir di keluarga sederhana, namun memiliki azam dan kemauan yang kuat kelak akan menjadi orang yang berilmu, kaya dan seterusnya.(halaman 29)

Seringkali saya pribadi tidak sungguh-sungguh menghargai apa yang telah dihasilkan oleh orang lain jika saya tidak mengetahui bagaimana proses dia menghasilkan karya itu. Contohnya saja saat ini apa-apa yang saya terima berasal dari uang orang tua, mudah saja uang itu saya habiskan untuk entah apapun itu bermanfaat atau tidak dan saat habis bisa kita minta pada mereka kembali. Orang tua mana yang tega melihat anaknya menderita.. memang benar kasih ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang jalan.
Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri."
(Q.S. Al-Ahqaaf;15)
Share:

Minggu, Mei 25, 2008

Al-Qiyadah Wal Jundiah



\
Judul Buku       : Al-Qiyadah Wal Jundiah
Pengarang       : Syaikh Mushthafa Masyhur
Tebal                : viii+173 halaman
Penerbit          : Al-I’tishom Cahaya Umat
Cetakan           : II, mei 2006

Wanna share about content this book :
Halaman 92
Pengalaman telah menunjukkan, bahwa semangat yang berkobar-kobar di kalangan anggota tertentu, bukan berarti sebagai bukti kekuatan iman dan kehebatannya dalam berjuang dan berkorban. Malah sering orang yang semangatnya berkobar-kobar, pada mulanya beranggapan dengan semangat seperti itu akan mempercepat pencapaian tujuan dan cita-cita. Tetapi, karena tujuan yang akan ditempuh panjang, maka hanya orang-orang yang sabar menanggung segala derita dan tekun saja yang patut menyertai perjalanan jamaah ini. Karena itu, orang yang terlalu bersemangat sebenarnya sangat berbahaya kalau didudukkan di tempat strategis. Sebab tidak mustahil ia akan menyalahgunakannya atau malah berhenti ditengah jalan setelah mengalami kesusahan.

Ketika membaca tulisan itu, saya pribadi langsung tersentak sekaligus terpukul membacanya, dan berpikir betapa berbahayanya saat saya menjadi seseorang yang sangat bersemangat terhadap sesuatu dan kemudian tidak meneruskannya sampai akhir. Tidak hanya diri sendiri yang merugi tapi orang-orang disekitar pun juga menanggung akibatnya.
Memang saya merasakan sendiri bahwa saat menemukan sebuah ide bahkan beberapa ide yang bisa saja disebut cemerlang secara tidak langsung setiap orang pasti ingin mewujudkannya apalagi bila ide tersebut terkait dengan orang banyak dan dapat bermanfaat mereka. Maka keinginan untuk segera mewujudkannya membuat saya sangat bersemangat, ”semangat yang berkobar-kobar” dan istilah itu betul sekali, seperti layaknya api besar yang melalap semua benda yang ada didepannya. Saat itulah bisa saja semangat itu bercampur dengan napsu, karena ketika harapan-harapan yang ingin diwujudkan tadi tak dapat segera terwujud, dikarenakan orang lain belum siap menerima ide itu ataupun lingkungan yang tidak mempunyai semangat yang sama untuk mewujudkannya. Maka yang terjadi selanjutnya adalah timbul kekecewaan pada jamaah dan kandasnya impian itu.
Dalam buku ini dikatakan ”Karena itu, orang yang terlalu bersemangat sebenarnya sangat berbahaya kalau didudukkan di tempat strategis. Sebab tidak mustahil ia akan menyalahgunakannya atau malah berhenti ditengah jalan setelah mengalami kesusahan.”
Sungguh ironis memang, saat ada anggota yang benar-benar bersemangat tapi tak ada wadah yang sanggup menampung semangat itu dan orang-orang disekitarnya tak mampu mengimbanginya. Kemudian apabila hal itu terjadi siapakah yang patut dikasihani anggota yang bersemangat tadi? Ataukah orang-orang disekitarnya yang tidak siap dengan semangat perubahan menuju perbaikan? Setiap manusia diberi kelemahan dan kelebihan, yang tujuannya memang untuk saling melengkapi agar terjalin ukhuwah satu sama lain. Dan tak dapat dipungkiri kalau hal di atas tadi bisa terjadi, dan kekecewaan terhadap jamaah merupakan sebuah keniscayaan. Namun, akankah kita semua ingin hal itu terjadi? Tentu saja tidak, saat dimana kita tahu hal-hal yang menimbulkan mudhorot itu dapat diminimalisir tentu saja pasti akan kita lakukan.
Pada halaman 81 buku ini dikatakan ”semangat pemuda harus dipelihara dan diarahkan serta selalu dikontrol. Agar tidak timbul tindakan yang membabi buta dan agar tidak menjerumuskan jamaah ke dalam suatu pertarungan tanpa perhitungan dengan musuh.” 

Dikatakan tadi, bukan hanya memelihara tapi juga mengarahkan dan selalu mengontrol semangat para pemuda. Nah, siapakah yang dapat melakukannya? Tentu saja orang-orang yang mempunyai kebijaksanaan lebih yang dapat mengarahkan semangat para pemuda tanpa menyesatkannya. Jika pemuda mempunyai idealisme maka para pendahulu-pendahulu yang telah mempunyai banyak pengalaman itu mempunyai segudang kebijaksanaan. Bukankah hal itu yang diharapkan dari adanya sosok qiyadah dan jundiyah? Dalam ini yang dimaksud bukan saja qiyadah sebagai panglima angkatan tertinggi ataupun ketua organisasi tapi juga kita sebagai qiyadah terhadap diri sendiri dan orang lain didekat kita. Bukankah sudah sepantasnya seorang muslim itu mengingatkan saudaranya, dalam Al-Qur’an surat At-Taubah;71 :

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Subhanallah, sungguh agama Islam itu sangat menyeluruh dan andai saja (semoga) setiap orang memahami Islam secara menyeluruh maka tidak ada lagi orang-orang yang kecewa terhadap jamaah atau pun mimpi-mimpi yang tidak dapat diwujudkan. Dan Allah adalah sebaik-baik penolong....                                                                                                            
Share:

Jumat, April 11, 2008

KEMISKINAN, SIAPA YANG PEDULI?




Kemiskinan merupakan masalah yang terus menghantui masyarakat kita. Mulai dari pemerintah yang terus melakukan berbagai usaha untuk mengentasakan masyarakat dari kemiskinan sampai masyarakat miskin sendiri yang pasrah dengan keadaan kekurangan tersebut. Hal ini disebabkan karena masyarakat miskin umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya kepada kegiatan ekonomi sehingga tertinggal jauh dari masyarakat lainnya yang mempunyai potensi lebih tinggi. Standar kemiskinan umumnya diukur dengan tingkat pendapatan, yakni dilihat dari perspektif ”kemiskinan pendapatan” atau ”income-poverty” (Chambers, 1997). Pendekatan ini banyak dikritik oleh para pakar ilmu sosial sebagai pendekatan yang kurang bisa menggambarkan potret kemiskinan secara lengkap. Kemiskinan seakan-akan hanyalah masalah ekonomi yang ditunjukkan oleh rendahnya pendapatan seseorang atau keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Jumlah orang miskin di Indonesia senantiasa menunjukkan angka yang tinggi, baik secara absolut maupun relatif, di pedesaan maupun di perkotaan. Seseorang dikatakan miskin secara absolut apabila tingkat pendapatannya lebih rendah daripada garis kemiskinan absolut atau dengan kata lain jumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum yang dicerminkan oleh garis kemiskinan absolut tersebut. Kriteria yang digunakan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) untuk mengukur garis kemiskinan absolut tersebut adalah pengeluaran minimum yang diperlukan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Kebutuhan minimum untuk hidup ini diukur dengan pengeluaran untuk makanan setara 2100 kalori perkapita per hari ditambah pengeluaran untuk kebutuhan non makanan yang meliputi perumahan, berbagai barang dan jasa, pakaian dan barang tahan lama. Pada tahun 1993, angka pengeluaran minimum sebagai batas garis kemiskinan absolut tersbut ditetapkan rata-rata sebesar Rp 27.905,00 perkapita per bulan untuk daerah perkotaan dan Rp 18.244,00 untuk daerah pedesaan.
Berbeda dengan kemiskinan absolut, kemiskinan relatif adalah keadaan perbandingan antara kelompok yang mungkin tidak miskin karena mempunyai tingkat pendapatan yang lebih tinggi daripada garis kemiskinan dan kelompok masyarakat yang relatif lebih kaya. Dengan menggunkan ukuran pendapatan, maka keadaan ini dikenal dengan ketimpangan distribusi pendapatan.
Selain itu berdasarkan pola waktunya, kemiskinan di suatu daerah dapat dibedakan menjadi persistent proverty, cyclical poverty, seasonal proverty, serta accidental poverty  Persistent proverty yaitu kemiskinan yang telah kronis atau turun temurun. Daerah seperti itu pada umumnya merupakan daerah-daerah yang kritis sumber daya alamnya, atau daerah yang terisolasi. Pola kedua adalah cyclical poverty, yaitu kemiskinan yang mengikuti pola siklus ekonomi secara keseluruhan. Berikutnya seasonal proverty, yaitu kemiskinan musiman seperti dijumpai pada kasus nelayan dan pertanian tanaman pangan. Terakhir accidental poverty, yaitu kemiskinan karena terjadinya bencana alam atau dampak dari suatu kebijaksanaan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan suatu masyarakat. Setiap pola kemiskinan tersebut memiliki hubungan yang kuat dengan suatu wilayah.
Share: