Judul Buku : Untukmu
Kader Dakwah (seri PDF)
Pengarang : Ust Rahmat
Abdullah
Tebal : 78
halaman
Tahun : 2005
Wanna share about content this book :
Buku
ini merupakan kumpulan dari artikel-artikel Ust Rahmat yang dimuat dalam rubrik
asasiyat, majalah Tarbawi. Dari beberapa artikel, berita, profil serta hasil
wawancara dengan pengarang, saya
tertarik untuk membahas tentang beberapa diantaranya, yaitu :
Sejarah
telah diwarnai, dipenuhi dan diperkaya oleh orang-orang yang sungguhsungguh. Bukan oleh orang-orang
yang santai, berleha-leha dan berangan-angan. Dunia diisi dan dimenangkan oleh
orang-orang yang merealisir cita-cita, harapan dan angan-angan mereka dengan
jiddiyah (kesungguh-sungguhan) dan kekuatan tekad. (halaman 27)
Dakwah berkembang di tangan orang-orang yang memiliki militansi, semangat
juang yang tak pernah pudar. Ajaran yang mereka bawa bertahan melebihi usia
mereka. Boleh jadi usia para mujahid pembawa misi dakwah tersebut tidak
panjang, tetapi cita-cita, semangat dan ajaran yang mereka bawa tetap hidup
sepeninggal mereka. Apa artinya usia panjang namun tanpa isi, sehingga boleh
jadi biografi kita kelak hanya berupa 3 baris kata yang dipahatkan di nisan
kita : “Si Fulan lahir tanggal sekian-sekian, wafat tanggal sekian-sekian”. (halaman
28)
Militansi. Sebenarnya apa arti kata militansi itu?militansi dari kata
militan, kalau di kamus besar bahasa Indonesia militan artinya bersemangat
tinggi;penuh gairah; berhaluan keras, sedangkan militansi artinya ketangguhan
dalam berjuang (menghadapi, kesulitan, berperang, dsb). Kemudian siapa yang
pantas disebut militan? Apakah orang yang berani rela bolak-balik
bandung-jakarta dapat disebut militan?atau orang yang menyelesaikan semua
amanahnya dengan sungguh-sungguh sudah dapat disebut militan?
Mungkin dua-duanya dapat disebut militan tergantung kebutuhan mana yang
harus dipenuhi. Hanya saja akan menjadi masalah apabila kita mengeneralisasi
bahwa orang militan pasti orang yang melakukan banyak pengorbanan yang bersifat
fisik, dan memandang sebelah mata orang yang berdiam diri menyelesaikan amanah.
Bisa jadi orang yang duduk tenang menyelesaikan tugasnya itu lebih militan,
karena dia lebih dapat melawan hawa napsunya untuk tidak beranjak dari
tempatnya alias dia mampu mengalahkan dirinya sendiri. Bukankah jihad yang
paling berat adalah mengalahkan hawa napsu?. Hmm...pernyataan ini bukan berarti
menyepakati kita harus berdiam diri terus dan menunggu kekalahan hawa napsu
pribadi dulu baru kemudian bergerak ke arah yang lebih luas. Sebenarnya berjuang
mengalahkan diri sendiri akan terus berjalan
sampai ruh terlepas dari raganya, hal itu memang akan terus mengusik kita
sampai kita akhirnya menuruti hawa napsu, itulah yang diinginkan syaitan.
Namun, sembari kita sibuk dengan diri kita tadi, hak orang lain untuk diri kita
tidak boleh terlupakan dengan bergerak itulah hal itu dapat terpenuhi. Bergerak
di sini yaitu kita bertebaran di muka bumi untuk mencari karunia Allah SWT yang
dapat kita cari dimana pun kita berada.
^_^
Di antara sekian jenis kemiskinan, yang paling memprihatinkan adalah
kemiskinan azam, tekad dan bukannya kemiskinan harta. Misalnya anak yang
mendapatkan warisan berlimpah dari orangtuanya dan kemudian dihabiskannya untuk
berfoya-foya karena merasa semua itu didapatkannya dengan mudah, bukan dari
tetes keringatnya sendiri.
Boleh jadi dengan kemiskinan azam yang ada padanya akan membawanya pula
pada kebangkrutan dari segi harta. Sebaliknya anak yang lahir di keluarga
sederhana, namun memiliki azam dan kemauan yang kuat kelak akan menjadi orang
yang berilmu, kaya dan seterusnya.(halaman 29)
Seringkali saya pribadi tidak sungguh-sungguh menghargai apa yang telah
dihasilkan oleh orang lain jika saya tidak mengetahui bagaimana proses dia
menghasilkan karya itu. Contohnya saja saat ini apa-apa yang saya terima
berasal dari uang orang tua, mudah saja uang itu saya habiskan untuk entah
apapun itu bermanfaat atau tidak dan saat habis bisa kita minta pada mereka
kembali. Orang tua mana yang tega melihat anaknya menderita.. memang benar
kasih ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang jalan.
Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu
bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan
susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan,
sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia
berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang
telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat
berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan
(memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau
dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri."
(Q.S.
Al-Ahqaaf;15)
Dan ketika kita melupakan proses dari sebuah hasil akan sangat mudah juga
kita melupakan jerih payah perjuangan untuk mendapatkannya. Sehingga pikiran
kita pun hanya tertuju pada hasil akhir apa yang dicapai bukan bagaimana hasil
akhir itu diperoleh. Pikiran-pikiran untuk langsung menuai hasil alias pikiran
serba instan begitu mengakarnya pada orang-orang saat ini (termasuk saya). Jadi,
marilah kita jangan bosan-bosan bercerita tentang cerita perjalanan seseorang
sampai akhirnya beliau dapat seperti sekarang ini. Jangan hanya lihat
beliau sekarang ini seperti apa tapi lihat apa yang beliau lakukan saat berusia
seperti kita sekarang ini.
Semestinya kaum Nabi
Musa melihat dan mau menarik ibrah (pelajaran) bahwa apa-apa yang diridhai
Allah pasti akan dimudahkan oleh Allah dan mendapatkan keberhasilan karena
jaminan kesuksesan yang diberikan Allah pada orang-orang beriman. Allah pasti akan bersama al-haq dan para pendukung kebenaran. Namun kaum
Nabi Musa hanya melihat laut, musuh dan kesulitan-kesulitan tanpa adanya tekad
untuk mengatasi semua itu sambil di sisi lain bermimpi tentang kesuksesan. Hal
itu sungguh merupakan opium, candu yang berbahaya. (halaman 32)
^_^
Rasulullah saw memang telah memberikan nubuwat atau prediksi beliau: “Kelak
kalian pasti akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian selangkah demi
selangkah, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta dan sedepa demi
sedepa”.
Sahabat bertanya: “Yahudi dan Nasrani ya Rasulullah?”. Beliau menjawab:
“Siapa lagi?”.
Kebodohan dalam meneladani Rasulullah juga bisa terjadi di kalangan para
pemikul dakwah sebagai warasatul anbiya (pewaris nabi).
Mereka mengambil keteladanan dari beliau secara tidak tepat. Banyak ulama
atau kiai yang suka disambut, dielu-elukan dan dilayani padahal Rasulullah
tidak suka dilayani, dielu-elukan apalagi didewakan. Sebaliknya mereka enggan
untuk mewarisi kepahitan, pengorbanan dan perjuangan Rasulullah. Hal itu
menunjukkan merosotnya militansi di kalangan ulama-ulama amilin.
Mengapa hal itu juga terjadi di kalangan ulama, orang-orang yang notabene
sudah sangat faham. Hal itu kiranya lebih disebabkan adanya pergeseran dalam
hal cinta dan loyalitas, cinta kepada Allah, Rasul dan jihad di jalan-Nya telah
digantikan dengan cinta kepada dunia.
Disorientasi, mungkin bisa disebut begitu. Bahkan ada dari para ulama yang
notebene-nya orang yang berilmu saja dapat tergantikan orientasi hidupnya lalu
bagaimana dengan manusia biasa? Seorang aktivis dakwah sekalipun juga dapat
terbelokkan niatnya karena kecintaannya pada selain Allah. Entah itu kecintaan
pada perjalanan dakwahnya sendiri bagaimana akan menempuh kemajuan demi
kemajuan yang harusnya semata-mata hanya untuk mendapat ridho Allah. Bukankah
ketika kita berdakwah pada orang lain gunanya memang untuk mengajak orang-orang
yang belum mendapat petunjuk menuju petunjuk Allah...? tapi ketika orientasinya
hanya ingin mendapati massa yang banyak dan hakikat berdakwah menjadi
terlupakan itu hal yang tidak kita inginkan bukan? Apa-apa yang kita lakukan
semata-mata hanya mengembalikan sesuatu itu pada tempatnya. Baik itu
pengorbanan kita maupun sesuatu yang akan kita dapatkan dari pengorbanan itu.
Masalah hati memang akan terus terbolak-balikkan sampai kita benar-benar teguh,
’ainul yakin layaknya pohon yang menancap dalam tanah dan menjulang tinggi ke
atas semakin tinggi puncak pohon itu semakin besar pula angin yang menerpanya
tapi bila akarnya benar-benar telah menancap dengan kuat jika Allah mengizinkan
pohon itu tidak akan roboh. Begitu juga dengan manusia ketika pondasi itu
memang masih rapuh sehingga takkan mampu menopang kita lebih tinggi lagi maka
yang harus dikuatkan adalah pondasi itu.
Itulah ibrah yang harus
dijadikan pusat perhatian para da’i. Apalagi berkurban di jalan Allah adalah
sekedar mengembalikan sesuatu yang berasal dari Allah jua. Kadang kita berat
berinfaq, padahal harta kita dari-Nya. Kita terlalu perhitungan dengan tenaga dan
waktu untuk berbuat sesuatu di jalan Allah padahal semua yang kita miliki
berupa ilmu dan kemuliaan keseluruhannya juga berasal dari Allah.(halaman 35)
Kemudian setelah itu,
Merendahlah, engkau kan seperti bintang-gemintang
Berkilau di pandang orang
Diatas riak air dan sang bintang nun jauh tinggi
Janganlah seperti asap
Yang mengangkat diri tinggi di langit
Padahal
dirinya rendah-hina
(halaman 38)
Ketika kita
dapat menyamakan kedudukan diri sama dengan orang lain, pun orang-orang
disekitar kita dengan kedudukan yang sama maka sebutlah itu pejabat sebutlah
itu rakyat jelata sebutlah itu pegawai negeri semuanya akan sama saja. Yang
membedakan derajat antara manusia satu dengan yang lain adalah ketakwaan. Antara
rakyat dan pejabat pun tidak ada yang membedakan. Sehingga akan terjadi pejabat
yang merakyat dan rakyat yang menjabat alias kesemuanya dapat merasakan empati
di masing-masing kedudukan karena memang itu sudah posisi mereka masing-masing.
Tidaklah mungkin jika semua orang menjadi pejabat ataupun semuanya menjadi
rakyat biasa, akan tetap ada kesenjangan secara struktural. Namun, secara
kultural mereka sama-sama manusia biasa ya rakyat anggota masyarakat biasa.
Betapa bahagia dan sejahtera apabila masyarakat menyadari hal itu, ketika
posisi menjadi pejabat mereka selalu ingat penderitaan dan jerih payah
rakyatnya yang kesusahan tiap harinya sehingga menjadikan dia lebih bersyukur
dan amanah terhadap tugasnya, takkan mau menikmati ataupun mengambil nikmat
lebih pada sesuatu yang memang bukan haknya. Sedangkan rakyat menaruh
kepercayaan besar terhadap pemerintah, mereka takkan menambah masalah dengan
terlalu banyak menuntut, karena mereka sadar bahwa keputusan yang diambil
pemerintah adalah yang terbaik bagi rakyat kalaupun itu memberatkan mereka
tetap percaya pemerintah akan membantu dan tak akan membiarkan rakyatnya
menderita sendiri. Itulah seni pemerintahan pada masa Rasulullah SAW,
menggunakan kepercayaan dan saling cinta-kasih antar sesama, memposisikan diri
seperti tanah yang berkedudukan sama, dan yang membedakan hanyalah satu yaitu
ketakwaan kepada Allah SWT.
Terlalu
rumit mencerna teori-teori politik dan paradigma da’wah, kecuali para kader
telah menyajikannya dengan pendekatan yang membumi. Otak mereka terlalu sarat
beban hidup, sehingga pilihan yang mudah diingat ialah wajah yang sering datang
pergi, lancung atau pendustakah mereka. (halaman 40)
Saat
menyinggung-nyinggung masalah perpolitikan di mata rakyat, satu kata yang dapat
mewakilkan jawaban dari pernyataan tadi, bingung, itu jawabnya. Bagaimana
tidak, jika pemenuhan kebutuhan sehari-hari saja tidak dapat terpenuhi, nasib
keluarga sendiri juga tak tau pasti, terus bagaimana mau berpikir tentang nasib
orang lain apalagi negara? Dari uraian
di atas tadi sudah dapat dilihat kalau rakyat takkan ambil pusing masalah
pemerintahan, yang mereka tahu jika hidup bisa tenang, harga terjangkau,
keluarga bahagia maka pemerintahannya baik. Diantara mereka tidak akan
mempersoalkan siapa yang menduduki pemerintah yang mereka tahu orang-orang yang
sering bertandang ke tempat mereka walaupun hanya pada saat pemilu, hal itu
merupakan sebuah bentuk kepeduliaan terhadap mereka walaupun dengan maksud
tertentu tapi itu tetap lebih baik daripada yang tidak berkunjung sama sekali.
Kalau
berbicara masalah politik banyak sekali hal yang dapat dibahas dan akan banyak
sekali aib yang dapat diungkap, begitu banyak lubang-lubang yang harus
ditambal, sudut-sudut yang harus dibangun serta impian-impian yang ingin
diwujudkan. Hanya orang-orang pilihan yang berpondasi baja yang dapat bertahan
di pentas perebutan surga dan neraka itu. Sekali terpeleset akan
mudah jatuh, dan ketika dapat bertahan angin akan semakin riuh menghantam. Namun,
kesemuanya itu tidak akan memadamkan janji Allah SWT yang pasti karena ”jika engkau menolong Allah, Allah akan menolongmu dan meneguhkan pendirianmu”
(Q.S 47:7). Jadi, siapakah yang mau menolong agama Allah jika bukan kita
sendiri?
Aku
berlindung kepada Allah, agar jangan menjadi besar dimataku dan kecil di Mata
Allah
Wah, komplit banget reviewnya sist. Nice info ^^
BalasHapus