Jumat, November 28, 2014

Rumah Tahfidz Teladan


Milano _ Idano_Hanao_Nayao ='p

November 2014- Life is learning... Wherever and whenever you are. Kesempatanku belajar saat ini tidak jauh berbeda dengan perjalanan kurang lebih  4 tahun yang lalu. Yaitu hidup berasrama, hidup berkomunitas, dan hidup dengan berbagai macam orang - berbagai karakter.

Rumah Tahfidz Teladan itu tempat dimana aku tinggal sekarang. Bersama dengan Bunda dan suaminya (Ayah.panggilannya-red) dan bersama dengan anak-anak RTT sebutan untuk rumah tahfidz teladan. Para asabiqunal auwalun itu ada Dije, Bila, Naya, Alma, Mila, Delonix, Amel, Aulia, Putri, Qonita, Ida, Adhwa, lalu ditambah Hana... Kesebelasan ditambah 2 wasit.. hehe
Adhwa cilik mengaji
Kegiatan disini mengaji mengaji dan mengaji. Habis Subuh mengaji sampai jam 5.30. Pulang sekolah anak-anak juga mengaji jam 16.00-17.00 lalu habis maghrib pun mengaji lagi sampai isya'. Tiada waktu tanpa mengaji... :) Pengalaman menarik adalah ketika mendampingi bocil-bocil ini mengaji. Dulu aku usia SD masih maen, baca komik.. blm tau ada namanya hafalan... taunya makanan...

Yuk lanjut kisahnya ....^^

Share:

Selasa, Oktober 14, 2014

Rabithah Untukmu....

Sayang itu terkadang terlalu malu diungkapkan pada objek subjek utama,
tapi dia “sumringah” diajukan pada objek-objek subjek-subjek pendamping.
Tentang rasa cinta untuk mereka yang juga masih malu untuk diucapkan.
Tentang rindu kebersamaan yang terlambat teruntai.
(penghujung Muharram 1433H)

Tulisan ini tentang ringkasan dari Buku “Syarah Do’a Rabithah” oleh Muhammad Lili Nur Aulia. Saya tulis sudah beberapa tahun yang lalu dan akhirnya menemukan buku ini kembali. Sayang sekali jika tidak  Saya tuliskan lagi disini.

Share:

Rabu, Juli 02, 2014

Kamis, Mei 15, 2014

TANPA RUH

KOSONG - Cobalah kamu tidak membaca Al Qur'an selama satu hari atau sepekan atau bahkan sebulan. Boro-boro sampai sebulan sehari saja sama sekali tidak membaca pasti ada yang hilang dalam dirimu. Lalu bagaimana dengan orang yang tidak sholat?


Entah apa yang sebenarnya yang terjadi dalam hidupku beberapa waktu ini. Aku kehilangan spiritku. Kejenuhan yang sangat melihat keadaan yang tak kunjung berubah. Mengalami rutinitas yang sama, orang-orang yang sama, dengan koreksi yang sama. Mengapa kau tak kunjung berubah?

Aku merasakan lelah untuk mengingatkan, lama sekali aku menekan tombol "mute" pada sikap bawelku. Aku ingin melihat kepedulian dari orang lain, bukan hanya aku. 
Aku ingin melihat apa yang terjadi bila aku tidak peduli. 
Apa yang terjadi ketika tidak ada gerakan.

Miris - nila setitik rusak susu sebelanga itulah yang terjadi. Begitulah umumnya orang yang seharusnya "tidak boleh salah". Menjadi teladan adalah hukum mutlak orang yang dituakan. Aku tidak menolak anggapan itu. Dan itu hal yang wajar.  
Bukti bahwa lingkungan akan mempengaruhi sosok dan sosok itu akan mempengaruhi lingkungan juga benar adanya. 
Sebenarnya, aku berharap muncul sosok baru yang dengannya menghidupkan kembali cahaya yang hilang. 
Gayung tak bersambut, memang takdir tidak bisa dipilih. Ketika kita menghendaki perubahan dari lingkungan sekitar kita, mutlak harus melalui perubahan diri kita sendiri terlebih dahulu.
Selayaknya, aku yang harus evaluasi diri untuk siapa amal ini... 

Berharap pada hasil yang terbaik, yang paling ideal, yang paling sempurna membuatku putus asa dan menarik diri dari lingkungan-kecewa. 
Tak mau berbagi adalah hal yang menyedihkan, aku sakit semakin akut. Bukanlah sakit fisik yang membuatku nelangsa kehilangan RUH-lah yang membuat hidup menjadi nestapa.

Aku baca lagi firmanNya :

Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?" Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.(Q.S. Al Kahfi 103-104) 

Haluan orientasi ini harus kembali pada jalannya, bisikku pada diriku sendiri. Nilai perbuatan kita bukan dinilai dari hasil yang diberikan oleh orang lain melalui tangan kita, tapi bagaimana melalui tangan-tangan kita inilah akan membuahkan hasil sehingga dapat dinikmati oleh banyak orang.

Terus menanam, merawat, sehingga suatu saat nanti buahnya terasa nikmat ketika dimakan oleh orang lain. Begitulah arti dari nafi'un li ghoirihi paling bermanfaat bagi orang banyak. Itulah sebaik-baik manusia.

Ruh itu akan kembali dengan sendirinya ketika kita menambah rasa sayang kita pada Allah SWT dan menyayangi orang lain, umat ini melebihi diri kita sendiri.

kalo tidak bermanfaat mengapa jua kita masih melakukannya? kalo tidak di dunia insyaAllah di akhirat. pasti.


Sumber gambar : www.langitnilai.com
Share:

Rabu, Mei 07, 2014

Himmatuhusna



Sudah lama sekali sekitar tahun 2011 lalu, aku dipertemukan kembali oleh salah seorang temanku di Jama’ah Shalahuddin. Sebuah perbincangan singkat di social media, kami saling berbagi kabar dan aktivitas saat itu. Saat itu dia sudah menikah dan terus berdakwah. Sosoknya yang aku ingat saat kami berjibaku dulu adalah dia selalu membawa buku kemana-mana. Di buku itu juga dia tuliskan
 “APAPUN YANG TERJADI TETAP TULISKAN!!!” 
 “WALAUPUN KAMU LELAH TETAPLAH MENULIS” 
kiranya begitu kalimat motivasi yang tertulis dengan huruf KAPITAL dan berulang-ulang. Pertemanan kami memang singkat, karena semangatnya menuntut ilmu dinniyah membuat kami harus berpisah sementara waktu. Kalian tau apa komentar dia saat kami berjumpa lagi dalam percakapan singkat itu...

“Kalau avis, nama sebutan yang cocok buatmu itu himmatuhusna”
“apa itu artinya?”
“semangat yang baik, avis kan orangnya selalu semangat!!!”
“hehehe...”

Percakapan itu selalu ku ingat dan akhirnya kutuliskan kembali disini, dan nama itu aku labelkan di nama drive, flashdisk, email dsb....
Namun, entah mengapa saat ini aku merasa malu. Malu karena sepertinya aku tak semangat seperti dulu. Terlalu banyak pertimbangan untuk beramal. Merasa gagal dan putus asa pada semua yang pernah dilakukan.... Akhirnya kecewa dan menarik diri. Astaughfirullah...

Betapa mudah Allah itu membolak balikan hati. Makanya:
مَنْ أَحَبَّ لِلَّهِ وَأَبْغَضَ لِلَّهِ وَأَعْطَى لِلَّهِ وَمَنَعَ لِلَّهِ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ الإِيمَانَ ».
“Barang siapa yang mencintai karena Allah. Membenci karena Allah. Memberi karena Allah. Dan tidak memberi juga karena Allah. Maka sungguh dia telah menyempurnakan imannya.” (HR. Abu Dawud, disahihkan al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abu Dawud [10/181] as-Syamilah)
Sesuatu itu perlu dikembalikan lagi pada “ghoyah”nya... Allah ghoyatuna.... Ringan diucapkan tapi berat dalam amal. Kalau saat ini aku menyerah, kenapa aku menyerah? Apa setelah menyerah iman itu bertambah? Setiap tindakan dan alasan perlu kita pertanyakan kembali “apakah Allah ridho dengan apa yang kita kerjakan?”

“berlelah-lelahlah sampai lelah itu lelah mengikutimu”
 karena akhir perjuangan ini akan selesai ketika KAKI TELAH MENAPAK KE SURGANYA.

Merbabu 2013 _ dan menapak kaki dengan pasti... (izzis)

Share:

Minggu, Februari 09, 2014

LAWU

7-8 Februari 2014 - Perjalanan pendakianku yang pertama di tahun 2014 ini. Pendakianku yang pertama kali pula setelah kecelakaan tahun lalu. Ternyata tubuhku yang lemah menjadi semakin tak berdaya. Ditambah menfosir diri di awal, berakibat fatal di akhir. Alhamdulillah masih bisa melihat lagi matahari pagi.

Terimakasih pada teman-teman yang sabar menungguku...
Terimakasih pada teman-teman yang menyemangatiku...
Terimakasih pada seseorang yang menguatkanku dg genggamannya sampai akhir...
Terimakasih Allah telah menghadirkan mereka...
Terimakasih Allah....



Puncak Lawu bersama Keluarga AMAN
avis-pipit-erna-nining  yg sll semangat

Manajemen Etos yang sll ceria^^

ALL Etos Jogja yang ISTIMEWA :)

Share:

Jumat, Januari 31, 2014

27 Januari 2014



Sore ini aku menemani binaanku untuk ta’aruf. Sebenarnya hal seperti ini bukan kali pertama bagiku. Namun, sepertinya Allah ingin mengingatkanku atas apa yang seharusnya aku persiapkan untuk memenuhi separuh dien ini. 

MasyaAllah... betapa fakirnya aku, ketika merasa cukup atas diri sendiri. Aku sadar 2 pekan ini aku futur, dan itu aku biarkan begitu saja. Aku merasa cukup dengan ibadah seadanya asal tidak melakukan maksiat. Tidak mencintai sunnah dan kurang menghindari yang mubah. Astaughfirullah....
Betapa lemahnya aku, kurang bisa menjaga diri. Melakukan tarbiyah Dzatiyah dengan istiqomah.

Kalimat yang terucap dari lisan murobbi sang Ikhwan "apa persiapan khusus yang telah anti persiapkan?" tadi seperti mengingatkanku akan JANJI pada diri sendiri yang dulu pernah aku tancapkan dalam hati. Aku akan menggenapkan separoh dien, sudah sungguh-sungguhkah aku mempersiapkannya?
Dan lagi ketika aku merasa cukup dengan diriku....

Ada tulisan menarik yang membuatku sadar:

Seorang ibu yang sering bertanya pada anak perempuannya mengenai apa bagian tubuh yang terpenting bagi manusia. Dari tahun ke tahun, anak perempuannya itu terus memberika jawaban yang ia kira benar.
Di usianya yang lebih muda, anak itu mengira, bunyi atau suara itu sangat penting bagi manusia. Karena itu, ia menjawab “Telinga saya, Bu”.
Ibunya berkata, “Bukan. Banyak orang yang tuli. Coba pikirkan terus Ibu akan bertanya lagi di suatu saat nanti”.

Beberapa tahun berlalu, dan Sang Ibu kembali menanyakan hal itu lagi. Kali ini anak perempuannya merenung, mencoba memberikan jawaban yang benar. Lalu berkata kepada Ibunya, “Ibu, penglihatan itu sangat penting bagi siapa saja. Karena itu bagian tubuh yang paling penting untuk semua orang adalah mata.

Ibunya hanya memandang sang anak dan berkata, “Kamu cepat belajar. Tapi jawaban ini tidak tepat karena banyak orang yang buta”.
Sang anak kembali terdiam. Dari tahun ke tahun, ia terus menambah pengetahuan. Selama itu, Sang ibu bertanya beberapa kali dan jawabannya adalah selalu, “Bukan. Tapi kamu jadi pintar dari tahun ke tahun, Nak.”
Suatu hari kakek anak perempuan itu meninggal. Semua orang menangis. Bahkan ayahnya juga menangis. Anak itu ingat persis hal ini karena ini kali keduanya melihat sang ayah menangis.

Ketika tiba giliran mereka untuk memberi penghormatan terakhir kepada kakek, ibunya kembali bertanya pada anak perempuannya itu, “Apakah kamu sudah tahu, bagian apa yang paling penting bagi tubuh kita?”
Sang anak kaget, mengapa ibunya bertanya tentang hal itu pada situasi seperti ini. Selama ini si anak perempuan hanya mengira, pertanyaan itu hanya permainan tebak-tebakan antara ibu dan anak. Sang ibu tahu kalau anaknya bingung dan berkata, “Pertanyaan ini sangat penting. Ini menunjukkan, kamu benar-benar menghargai hidup ini. Untuk setiap bagian tubuh yang kamu bilang ke saya di waktu lalu, saya selalu bilang, kamu salah dan saya sudah menjelaskan contohnya mengapa. Tapi hari ini kamu harus belajar satu pelajaran penting ini.”

Sang ibu memandangi anaknya dengan pandangan yang hanya bisa diberikan seorang Ibu. Air mata menggenang di matanya. Si Ibu lalu berkata, “Anakku sayang, bagian tubuh yang paling penting itu adalah bahumu.” “Karena bahu menyangga kepala saya,” tanya si anak penasaran.

“Bukan. Tapi karena dapat menyangga kepada seorang teman atau orang yang kita sayangi, ketika mereka menangis. Semua orang perlu bahu untuk menyangganya dalam hidup ini. Saya hanya berharap , kamu punya kecukupan cinta dan teman sehingga kamu selalu punya tempat bersandar untuk menangis di saat kamu memerlukannya.”

Dari situ dan sejak itu, sang anak tahu, bagian yang paling penting dari tubuh bukan yang memikirkan diri sendiri. Yang paling penting adalah bersimpatik terhadap penderitaan orang lain.

Orang-orang akan lupa dengan apa yang kita katakan
Orang-orang akan lupa dengan apa yang kita kerjakan
Tapi orang tak akan pernah lupa perasaan yang dirasakannya akibat perlakuan kita kepadanya

Sahabat baik itu seperti bintang-bintang di langit
Kita tidak selalu melihat mereka, tapi kita tahu, bahwa mereka itu ada.


Notes.

Bila saya sebagai ibu anak tersebut. Jawaban dari pertanyaan “bagian apa yang terpenting sesuai filosofi di atas yaitu jari jemari” tanpa jari kita tidak bisa menyampaikan empati atau simpati dengan bahasa tubuh, tanpa jari kita tidak bergandengan, tanpa jari kita tidak bisa bersalaman dengan apik, tanpa jari kita akan sulit memegang sesuatu dengan kuat, banyak hal kecil yang bisa kita lakukan dengan jari-jari kita dan hal tersebut bisa menguatkan orang lain bukan hanya menjadi sandaran. Itulah mengapa saya menganggap bagian ini lebih penting dari bahu.  Sekali ini hanya pendapat, Sahabat bisa juga berpendapat lain, just share! J
Share: