Ya. Menjadi pahlawan itu biasa. Dia tetap manusia biasa, tidak kemudian
memiliki sayap, baju emas, atau tersempitkan makna menjadi orang yang
dikebumikan di makam pahlawan, dibuatkan patung, menjadi salah satu nama museum
dan sebagainya. Mereka yang memiliki kehormatan itu tetap pahlawan. Namun,
masih banyak pahlawan di sekitar kita yang sering kali luput dari pengamatan
kita. Seperti halnya tukang sampah yang istiqomah mengambil sampah di pagi
hari, bila mereka sepekan saja mogok kerja siapa yang akan rela membawa
sampah-sampah itu ke tempat pembuangan akhir? Pun juga tukang sapu jalanan,
keberadaan mereka sering kali tak tampak, tapi ketidak beradaan mereka jelas
memberi penampakan yang berbeda. Pernah suatu ketika saya akan sholat ied adha
di Masjid Kampus UGM, lingkungan sekitar masjid dan kampus penuh sekali dengan
daun-daun yang berjatuhan, sangat banyak, macam UGM terkena musim gugur saja. Entahlah
apa yang terjadi, mungkin para tukang sapu sedang sibuk mengurus sapi, makan
daging sapi, madiin sapi dll yang jelas sukses deh maskam jadi episode musim
gugur, alhasil para jama’ah yang sholat dipelataran masjid mesti mengambili
daun-daun itu dulu. Ya memang daun yang jatuh tidak boleh membenci angin,
seperti halnya mereka menyukai tukang sapu. (lho?) kembali ke topik.
Pada intinya menjadi seorang pahlawan artinya ia memiliki
arti bagi orang lain, dia memiliki “nilai” yang tidak dipunyai oleh semua
orang. Dia memiliki keunikan yang membuatnya berbeda dari orang kebanyakan.
Terjawab sudah kenapa kemudian tukang sapu dan tukang sampah tadi tidak cukup
unik untuk masuk dalam daftar nama pahlawan di dunia, buku rekor MURI atau yang
lain. Karena menjadi “UNIK” adalah beban psikologis yang tidak semua orang dapat
memikulnya. Coba saja tukang sapu itu menyapu menggunakan kostum boneka bebek,
dengan atraksi kungfu yang menarik, pasti dia dengan cepat masuk dalam daftar
pahlawan kebersihan terunik versi on the spot.(hehe) Kenapa unik menjadi beban?
Karena menjadi orang yang unik, terkadang rada mirip dengan aneh (kesan
negatif.red) tidak mudah lepas dari komentar orang, di bully, terasing, bahkan
kesepian. Sebab tidak semua orang dapat memahaminya.
Menjadi pahlawan harus sadar dengan hal itu, ia membutuhkan tekad dan keberanian moral untuk menembus tirai kesalahpahaman publik dan lingkungan. Itu baru tahap awal, dan dibutuhkan lebih banyak lagi tekad dan keberanian untuk “memaksakan” kehadiran pribadi kita dalam struktur kesadaran masyarakat. Inilah proses paling menegangkan dalam proses “pensejarahan” seseorang.
Seninya adalah ia memaksakan penerimaan
ini secara natural, karena kebaikan yang berserakan pada masyarakat itu
terkumpul pada diri sang pahlawan. Maka kita Rasulullah SAW wafat, para sahabat
terguncang, mereka menangis, ketika Ibu Ainun meninggal Habibie begitu terluka
dan rakyat Indonesia berduka, pun ketika Uje meninggal Indonesia pun bersedih.
Maka jika kau mau menerima takdir kesepian sebagai pajak dari keunikkanmu, maka
niscaya masyarkakat akan membayar hal yang sama : kelak mereka juga akan merasa
kehilangan. Percayalah.
Pelajaran pertama menjadi pahlawan biasa : Terimalah keunikanmu! Hadapilah!